Identitas Buku
Judul :
Meraba Indonesia: Ekspedisi “Gila” Keliling Nusantara
Penulis :
Ahmad Yunus
Penerbit : PT
Serambi Ilmu Semesta
Terbit :
Juli, 2011
ISBN :
978-979-024-285-2
Tebal :
371 hlm
Cinta tanah air
lahir dari kepedulian, penerimaan, dan kesadaran memberikan derma kasih sayang
sepanjang hayat. Untuk sebuah harapan. Kebahagiaan, keadilan, kemakmuran, dan
kedamaian. Bukan hanya representatif rasa yang memuncak pada momen-momen
tertentu. Seperti hari kemerdekaan, prestasi olahraga, atau konflik dengan
negara tetangga.
Cinta akan
terasa lebih dalam melalui pendekatan filosofis. Dimana rasa cinta tidak hanya
berakhir pada sebuah rasa. Melainkan memancar hingga pada tindakan dalam
lingkup upaya, daya, dan perjuangan untuk negeri yang dicintai.
Rasa cinta tanah
air pula yang kemudian membuat Ahmad Yunus dan rekannya, Farid Gaban memulai
perjalanan nusantara. Dalam upaya mengenal, merekam, mengagumi, dan menyelami
Indonesia. Sang ibu pertiwi. Dalam kodratnya sebagai anak bangsa.
Sebab selama
ini sang ibu pertiwi lebih sering lahir dalam kesaksian pejabat di pengadilan
tipikor, atau drama melankolis yang penuh konflik di gedung dewan rakyat. Padahal
Indonesia bukan hanya di pengadilan atau gedung dewan rakyat. Melainkan di
sepanjang daerah seluas 4.000 mil dari timur ke barat dan sekitar 1.300 mil
dari utara ke selatan. Itulah wajah Indonesia.
Khayalan
tentang wajah Indonesia membuat Yunus nekat berpetualang. Dengan bekal sepeda
motor Honda Win 100, Yunus dan rekannya Farid menyematkan asa untuk mengetahui
dan melihat Indonesia yang sebenarnya dari dekat. Sebagaimana kata-kata Soe Hok
Gie yang membuka kisah dalam buku ini.
“Dan mencintai
tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama
rakyatnya dari dekat ...” – hal 7.
Buku yang
berjudul Meraba Indonesia: Ekspedisi
“Gila” Keliling Nusantara merupakan buah cinta perjalanan Yunus dan Farid
selama hampir setahun mengelilingi Indonesia. Dengan tema perjalanan ekspedisi
zamrud khatulistiwa.
Yunus memulai
embrio cinta sejatinya kepada Indonesia melalui orang-orang biasa yang memiliki
kisah luar biasa. Sebab bagi Yunus, kisah sederhana dari orang biasa adalah
kehidupan sejati dari sang ibu pertiwi.
“Saya merasa
cerita hebat selalu berawal dari sebuah cerita sederhana. Maka dari itu,
saya memulainya dengan bertemu orang
biasa. Berbicara, melakukan wawancara, menulis dan hidup bersama mereka. Dari
perjalanan ini saya masih menemukan harapan. Merekalah harapan itu. Orang-orang
kecil itu. Dan, inilah sejatinya Indonesia!” – hal 26.
Memulai
perjalanan dari brand ibukota
Jakarta, Tugu Monumen Nasional (Monas). Yunus dan Farid menarik gas sepeda
motor menuju Sumatra. Hingga mencapai kilometer nol. Tapal batas terluar bagian
barat Indonesia.
Perjalanan
kemudian dilanjutkan dengan melintasi perairan Riau. Menyusuri garis
khatulistiwa. Membuka mata pada rekaman kehidupan di etalase perbatasan
Indonesia-Malaysia. Pulau Sebatik.
Meninggalkan
bumi Borneo, Yunus dan Farid menuju daerah bagian Indonesia timur. Menikmati
gemuruh di tepi Pasifik. Menyelami keelokan dunia bawah laut, kegagahan Pinisi,
dan pembangunan tak berkelanjutan di pulau batas terluar bagian utara
Indonesia. Pulau Miangas.
“Gedung logistik
beras, tangki bahan bakar minyak, puskesmas hingga rencana bandara dibangun.
Namun pembangunan yang terjadi tak berjangka panjang. Akibatnya tak
berkelanjutan. Sekarang, rata-rata bangunan ini terlantar. Atapnya retak.
Kaca-kaca jendela pecah. Rumput tumbuh liar di halaman. Tak ada petugas yang
bekerja di bangunan itu” – hal 269-270.
Tanpa terlalu
panjang membayangkan makna nasionalisme di Miangas, Yunus dan Farid bergegas
menikmati sejarah kolonialisme ala pala dan mutiara hitam dari timur. Keindahan dan
kekayaan alam Indonesia kembali menyeruak di pulau kepala burung ini. dari ikan-ikan
karang yang berenang bebas hingga burung-burung khas yang asyik berteriak dan
meloncat dari satu pohon ke pohon lainnya.
Setelah
menapakkan kaki di ujung timur perbatasan Indonesia-PNG, perjalanan berlanjut
pada pulau Flores. Tak lupa menjenguk rumah pengasingan bung Karno seraya menikmati
senandung bisu 1965 di Maumere.
Flores kemudian
menjadi persinggahan terakhir perjalanan Yunus dan Farid. Sebelum bertolak
kembali ke Jawa. Menelusuri gugusan Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat,
Bali, hingga akhirnya menginjakkan kaki di pelabuhan Ketapang. Ujung timur
pulau Jawa.
Membaca kisah
dalam Meraba Indonesia seperti
menyimak dongeng nyata. Bahasa sederhana dengan bumbu-bumbu sejarah diracik ala
jurnalis. Disertai dokumentasi gambar yang mengesankan. Semakin menonjolkan
keakraban antara pembaca dan penulis.
Buku Meraba Indonesia adalah rekaman wajah
ibu pertiwi yang silih berganti rupa. Antara senang dan sedih, marah dan
terharu, benci dan bangga. Rupa-rupa
wajah yang memberikan kita kesempatan untuk mencintai Indonesia apa adanya. Mencintai
Indonesia dengan segenap perjuangan jiwa dan raga. Hidup Indonesia!
No comments:
Post a Comment
Terima Kasih atas kunjungannya