Identitas
Buku
Judul :
Gara-gara Indonesia
Penulis :
Agung Pribadi
Penerbit :
AsmaNadia Pulishing House
Terbit :
Desember, 2013
ISBN :
978-602-9055-16-0
Tebal :
xiv + 210 hlm
“Coba kita masih pakai bahasa Belanda ya, kan seru ke Eropa nggak usah
pakai belajar bahasa Belanda lagi!” – hal.122
Celoteh anak muda yang
menurut Agung bersifat main-main tapi sangat mengenaskan. Sebelumnya celoteh
semacam itu juga pernah hinggap dalam benak saya. Mengapa bahasa negara yang pernah
menjajah Indonesia selama 350 tahun hilang tanpa bekas. Padahal negara lain menggunakan
bahasa negara penjajahnya sebagai bahasa sehari-hari bahkan sebagai bahasa
nasional. Seperti halnya Singapura yang pernah menjadi jajahan Inggris. Saat
ini Singapura menggunakan bahasa Inggris sebagai salah satu bahasa nasionalnya.
Lalu Indonesia? Sempat timbul perasaan negatif, apakah bangsa Indonesia terlalu
susah menguasai bahasa Belanda sehingga bahasa Belanda tidak digunakan di
Indonesia. Ah, sungguh keterlaluan.
Setelah membaca buku Gara-Gara Indonesia, ternyata saya yang
keterlaluan. Tidak menghargai jerih payah para pejuang bangsa untuk menghargai
bahasa sendiri. Untuk menenggelamkan ambisi kesukuan dan bersama-sama membangun
bahasa persatuan. Lalu salahkah saya yang pernah berpikir negatif seperti itu?
Kembali pada judul di
atas, tak kenal maka tak sayang.
Itulah yang terjadi. Saya tidak benar-benar mengenal Indonesia. Terutama
tentang sejarah bahasa Indonesia. Namun bukan berarti saya tidak memahami arti sumpah
pemuda bagi bangsa Indonesia. Bukan pula saya tidak mengetahui isi sumpah
pemuda. Bukan! Saya mengerti jika sumpah pemuda itu memiliki arti penting dalam
konteks persatuan Indonesia, termasuk bahasa persatuan. Saya juga hafal bunyi
teks sumpah pemuda dari awal sampai akhir. Jika demikian dimana letak kesalahan
saya?
Pemaknaan. Ya, pemaknaan
adalah unsur penting untuk memahami secara lebih mendalam rentetan peristiwa sejarah.
Untuk apa? Untuk menghidupkan kembali rasa sayang pada Indonesia. Rasa nasionalisme.
Tidak seperti yang selama ini terjadi. Sejarah hanya ditampilkan dalam tempelan
kisah angka statistik dan kejadian. Kemudian berakhir pada seremonial rutinitas
upacara dalam menyambut hari-hari nasional.
Jika diibaratkan novel,
maka kisah-kisah sejarah tidak memiliki konflik yang dapat menyebabkan
pembacanya terhanyut emosi. Walaupun dalam judul tertera peristiwa heroik. Namun
jika dibaca kisah-kisah itu terkesan datar. Hambar. Tidak ada bangunan kalimat
yang berujung pada rasa heroik seperti yang diyakini pembaca.
Kini Agung yang
mengenalkan diri sebagai historivator memilih jalan berbeda dalam mengenalkan
sejarah. Sejarah ditampilkan dalam kisah motivasi melalui pergolakan batin para
pejuang dan ulasan renungan peristiwa. Seperti peristiwa perang Surabaya yang
ternyata satu-satunya kekalahan sekutu setelah PD II, sejarah G30S yang membuat
Indonesia sebagai satu-satunya negara yang berhasil menghambat laju komunisme, deklarasi
Djuanda yang menjadikan Indonesia sebagai pelopor peraturan hukum laut
internasional, dan masih banyak lagi kisah-kisah yang lain. Peristiwa sejarah
yang disuguhkan melalui kisah bermuatan motivasi memunculkan pemaknaan dalam
bentuk emosi. Rasa bersalah, sesal, geram, marah, hingga kebanggaan yang tak
terkira.
Pada akhirnya buku Gara-Gara Indonesia yang ditulis Agung tidak
hanya mengenalkan sejarah Indonesia. Tetapi sekaligus menumbuhkan rasa nasionalisme
dan kesadaran untuk mengisi kemerdekaan Indonesia. Kembali membuat kisah kehebatan
Indonesia yang selalu berani tampil beda. Termasuk memilih melupakan bahasa
penjajahnya dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Tak kenal maka tak sayang. Sungguh pepatah yang tepat bagi saya ketika
berpikir negatif tentang tidak digunakannya bahasa Belanda di Indonesia.
“Coba kita masih pakai bahasa Belanda ya, mungkin kita akan sama dengan
Belgia. Selalu berseteru karena perbedaan bahasa!”
No comments:
Post a Comment
Terima Kasih atas kunjungannya